“Redefinisi Arsitektur”,
dan Arsitek Sebagai Penguasa
Percakapan ini dimulai dari mimpi seorang arsitek muda untuk “meredefinisi kembali arsitektur Indonesia”, yang dilontarkannya dalam sebuah forum online. Saat itu, bagi saya si mahasiswa semester tanggung visi arsitek muda ini luar biasa megah nan bijaksana. Maksud dari mimpi itu ialah untuk mengisi kekosongan dari bentuk arsitektur Indonesia yang ada saat itu, yang notabene jika tidak perkembangan dari arsitektur nusantara maupun kolonial, adalah serapan arsitektur modernis warisan arsitek Silaban dan angkatannya.
Kala itu, kepala si mahasiswa semester tanggung ini kian mantap setuju selepas muncul sebuah pertanyaan kepada diri sendiri. Bunyinya semacam “coba berikan satu contoh arsitektur indonesia! Yang bukan serapan maupun perkembangan dari arsitektur terdahulunya”. Bukankah ide untuk meredefinisi arsitektur bangsa ini kemudian menjadi sangat genting sekaligus menarik?
Namun masalah muncul! Seperti yang telah saya tulis pada “Arsitektur yang distingtif dan eksklusif?”, premis dari tulisan tersebut adalah: apakah masih terburu untuk membuat arsitektur khas kita, ketika globalisasi mengaburkan batas-batas antar bangsa, dan arsitekturnya? Siapa sangka arsitektur 4 musim khas Tadao Ando dari Jepang bisa kita lihat di Indonesia?
Lewat sudah lebih setahun selepas forum diskusi online tadi, “turut meredefinisi arsitektur Indonesia” telah menjadi mimpi utama saya dalam berarsitektur/berdesain. Berbagai narasi mengenai arsitektur indonesia & nusantara cukup saya pelajari (yang salah satunya Arsitektur Bernaung — sila baca di cerita selanjutnya). Salah satu yang menarik perhatian saya adalah cerita tentang sebuah kerajaan yang merancang sendiri makna-makna pada tiap arsitekturnya. Pernah dengar?
Guru saya di kampus berkata bahwa sebuah kerajaan maha agung pernah mengarang cerita sendiri tentang keagungannya pada masyarakatnya, seperti contohnya memiliki para pengawal-pengawal ghaib di lereng gunung kawasan kerajaan. Kepercayaan masyarakat ini kemudian menggema dari pola hidup bermasyarakatnya, hingga sampai tata letak ruang & ukiran-ukiran pada kolom bangunan. Saya bukan peneliti, dan cerita diataspun tidak bisa saya jamin kebenarannya. Tapi maksud dari cerita ini saya angkat, adalah tentang peran penguasa dalam membentuk arsitektur wilayahnya.
Bukankah lebih mudah untuk kita meredefinisi arsitektur Indonesia, ketika kita yang memegang aturan?
Saya beri jeda untuk menahan anda berfikir tentang otoritarian pada tulisan ini. Bagi saya, pemerintah memiliki tangan cukup besar untuk mengurangi penggunaan HVAC pada rumah tinggal dengan cara memberikan aturan yang mendetail tentang penghawaan alami. Dalam rentang waktu lebih dekat mungkin hanya sebatas detail-detail sistem bangunan. Barangkali kelak dapat sampai standar detail fasad, opsi material efisien, sampai kebutuhan lahan terbuka hijau.
Meredefinisi seperti apa? Itu bahasan lain. Rupa arsitektur Indonesia seperti apa pun barangkali belum dapat terlihat jelas, mengingat baru 77 tahun Indonesia ada. Sebanyak-banyaknya baru sampai generasi ke-empat. Tapi satu hal yang pasti, menjadi pemerintah adalah satu cara lagi tentang bagaimana meredefinisi arsitektur Indonesia.