Mungkinkah Kita Melihat Kembali Arsitektur Yang Distingtif & Ekslusif ?

Kamirudj Ziman
4 min readJan 24, 2021

--

Jika saya meminta anda untuk membayangkan wujud bangunan rumah tradisional Batak, saya yakin sebagian besar anda akan mengimajinasikan rupa Rumah Bolon dengan atap meruncing disertai ornamen-ornamennya. Jika saya meminta kembali untuk membayangkan wujud bangunan rumah tradisional Sunda, imajinasi anda tidak akan jauh dari rupa rumah panggung dengan dinding anyaman bambunya. Sekarang coba perhatikan karakteristik bangunan-bangunan tersebut dan apa yang bisa anda simpulkan dari keduanya? Mereka berbeda. Berbeda dalam segi bentuk, struktur, hingga material yang membungkusnya.

Sekarang cobalah anda bayangkan seperti apa wujud bangunan rumah modern keluarga Batak di sebuah kompleks perumahan di Medan, beserta keluarga Sunda di sebuah kavling di Bandung. Apa yang dapat anda simpulkan dari keduanya? Hampir tidak ada bedanya. Masing-masing menggunakan struktur beton dan dinding bata, atap limasan, dengan wujud massa bangunan generik bertipe 36 dan seterusnya. Tak ada elemen distingtif yang signifikan yang dapat menunjukan identitas penghuni dan dimana bangunan itu didirikan.

Lalu apa masalahnya? Barangkali dititik ini anda akan menanyakan pertanyaan yang serupa. Memang tidak ada perkara besar dari realita yang disebutkan diatas. Kesan homogenitas dalam arsitektur rumah masyarakat modern ini tidak muncul begitu saja. Mereka ada atas dampak modernisasi peradaban manusia, setidaknya sejak beberapa abad kebelakang. Tetapi pernahkah anda berpikir, apakah arsitektur di Indonesia, juga diseluruh dunia, hingga di masa mendatang akan selalu terkesan generik?

Leluhur kita menciptakan arsitektur vernakularnya yang sangat ekslusif, kontekstual, serta orisinil setidaknya adalah akibat dari dua faktor utama, yaitu: pengetahuan masyarakat lokal serta keterbatasan komunikasi antar kelompok masyarakat kuno tersebut. Dua hal ini lah yang menjadi faktor utama mengapa wujud bangunan tradisional Batak dapat berbeda dengan wujud bangunan tradisional Sunda. Ini lah yang menjadikan masing-masing wujud bangunan tradisional begitu kaya akan konteks lokasi, budaya, juga karakteristik penghuninya. Begitu kontekstual, sehingga bangunan tradisional yang satu sulit untuk diimitasi pada lokasi dan kelompok masyarakat kuno lain.

Masing-masing kelompok masyarakat kuno menghasilkan wujud arsitekturnya sendiri. Didasari pengetahuannya terhadap konstruksi bangunan, perilaku & kebiasaan masyarakat, serta nilai-nilai adat yang diusung. Mereka melahirkan interpretasinya sendiri mengenai rupa massa dan tapak bangunan. Kesadaran akan lokasi geografis dimana arsitektur tradisional tersebut berada juga memberikan pengaruh terhadap pertimbangan material beserta sistem pendukung bangunan, seperti penghawaan dan pencahayaan dalam ruang. Alhasil muncullah wujud bangunan yang heterogen pada tiap-tiap kelompok masyarakat kuno, yang masing-masing berdasar atas komponen yang spesifik dan khusus.

Masyarakat kuno yang masih sangat terisolir satu dengan lainnya, disertai pula minimnya moda komunikasi jarak jauh, berdampak pada terciptanya bangunan tradisional yang orisinil. Mereka membentuk wujud arsitektur yang beragam tanpa adanya intervensi yang signifikan dari rupa arsitektur lokal masyarakat kuno lain. Wujud bangunan rumah tradisional Bali akan berbeda dengan wujud bangunan rumah tradisional Manggarai. Kedua masyarakat kuno ini minim melakukan komunikasi, oleh akibat jarak dan teknologi yang ada, sehingga pada akhirnya kedua wujud arsitektur tradisional tersebut tidak saling memengaruhi satu dengan lainnya. Masing-masing tetap berdiri teguh dengan interpretasi-interpretasi arsitekturalnya sendiri. Faktor kedua ini lah yang pada akhirnya membantu menyuburkan heterogenitas arsitektur tradisional di masanya.

Kemudian modernisasi datang dari Barat dan menjamur ke penjuru dunia. Teknologi berkembang pesat dalam rentang waktu yang cukup singkat. Pola kehidupan manusia pun turut berubah dalam segala aspek. Teknologi kian mempermudah komunikasi antar kelompok masyarakat, sehingga memungkinkan pertukaran sumber daya juga pengetahuan antar kelompok masyarakat. Dengan terbukanya kemungkinan tersebut, berbagai pengetahuan beserta inovasi-inovasi yang menyertainya mengubah pula pola berarsitektur masyarakat kini.

Arsitektur masa modern ini terbentuk setidaknya berdasar tiga faktor: pola kehidupan modern, teknologi, serta referensi. Perilaku manusia yang berubah menuntut efisiensi sekaligus kebersihan dalam wujud arsitekturnya, sehingga memengaruhi pertimbangan terhadap tapak dan rupa bangunan. Teknologi, membuka peluang untuk menciptakan kondisi penghawaan dan pencahayaan ruang yang ideal, tanpa bergantung pada wujud massa bangunan serta letak geografisnya. Pada akhirnya memberikan ruang gerak yang luas dalam mengimplementasi berbagai rupa bentuk bangunan. Sementara referensi memengaruhi wujud & rupa bangunan secara keseluruhan.

Referensi yang dimaksud bukan hanya referensi visual. Melainkan termasuk pula teori-teori arsitektural dari literatur-literatur rujukan, juga pengaruh serta pemikiran arsitek dan perancang mayor. Sama halnya faktor pengetahuan masyarakat lokal pada konteks arsitektur kuno, referensi inilah yang pada akhirnya membentuk sebagian besar pertimbangan dalam merancang arsitektur modern. Pertimbangan seperti dalam konstruksi, dimensi, rupa massa bangunan, material, serta berbagai hal lainnya. Referensi hadir untuk mempermudah proses perancangan bangunan. Tetapi referensi juga dapat mengintervensi gagasan orisinil sang perancang. Sehingga banyak diantara bangunan-bangunan modern ini yang terpengaruh sangat besar oleh referensi-referensinya.

Semakin terbukanya peluang komunikasi, semakin melimpah referensi-referensi yang dapat diakses oleh individu, semakin banyak pula bangunan yang menjadikan arsitektur preseden sebagai referensi, sekaligus menjadi referensi itu sendiri. Pada akhirnya, perilaku ini mengaburkan identitas-identitas dalam tiap komponen arsitektur.

Kini, sekat-sekat regional dalam konteks arsitektural memudar. Bentuk massa bangunan, material, konstruksi, dan lainnya kini tidak lagi eksklusif bagi kelompok masyarakat tertentu. Struktur beton dapat diaplikasikan dan dijumpai dimanapun. Rupa arsitektur modernis dapat berdiri di Bandung, maupun juga di Medan. Tata ruang bangunan rumah kontemporer di Bali tidak akan jauh beda secara signifikan dengan yang ada di Nusa Tenggara Timur. Kini, komponen-komponen arsitektural tidak lagi tertaut pada identitas kelompok masyarakat tertentu.

Lantas, jika keterhubungan kita menyebabkan tidak lagi ada sekat-sekat jelas untuk melahirkan arsitektur lokal yang unik, kontekstual, juga orisinil. Apakah kita akan selalu melihat arsitektur yang tampak generik satu dengan lainnya, hingga di masa mendatang ? Jika begitu, apa yang dapat kita, sebagai pelaku dan penghuni arsitektur, lakukan?

--

--

Kamirudj Ziman
Kamirudj Ziman

Written by Kamirudj Ziman

0 Followers

Seorang mahasiswa desain interior

No responses yet